website statistics
25.4 C
Indonesia
Fri, 26 April 2024
close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

25.4 C
Indonesia
Friday, 26 April 2024 | 20:32:21 WIB

Pengamat Maritim IKAL SC Harapkan KTT G20 Sebagai Langkah Strategis Indonesia menuju Poros Maritim Dunia

Jakarta | detikNews – Indonesia telah menunjukkan kemampuannya dalam menghelat KTT G20 di Bali, pada 15 – 16 November 2022. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya 17 Kepala Negara dalam Konferensi bertaraf Internasional tersebut. Apalagi Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang menjadi Tuan Rumah KTT G20.  Sehingga acara ini dapat dikatakan menjadi pertaruhan bagi wajah Pemerintahan Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC) mengungkapkan, pelaksanaan KTT G20 dapat dipakai sebagai ajang diplomasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

“Saya memiliki harapan terhadap kegiatan KTT G20 ini. Semoga kegiatan ini dapat dijadikan sebagai ajang diplomasi Indonesia kepada negara-negara lain, yang berkepentingan dengan wilayah kemaritiman Indonesia guna mewujudkan visi misi poros maritim dunia kita. Sehingga Indonesia dapat menunjukkan peradaban maritim, kedaulatan bangsa, dan ketahanan pangan serta energinya”, ucapnya kepada media di Jakarta, Rabu 16/11/2022.

Baca juga:  Penguatan Pembangunan Tersistem, Kelurahan Mekarjaya Gelar Pra Musrenbang

Dirinya berharap, KTT G20 dapat menjadi  hal utama pendorong  pembangunan maritim Indonesia masa depan, sehingga dapat menjamin kekuatan ekonomi, sosial, politik, dan jati diri Indonesia di persaingan global.

Lebih lanjut Hakeng menambahkan, Dengan letak Indonesia yang begitu strategis tersebut, maka sudah sepatutnya dapat dijadikan sebagai modal untuk berdiplomasi dalam sektor perikanan dan kelautan. Apalagi saat ini telah terjadi peralihan perhatian dunia dan aktivitas dari wilayah Mediterania  dan Atlantik ke kawasan Indopasifik.

“Dengan peralihan perhatian dan aktivitas tersebut, maka wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis. Oleh karena itu Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis”, tegasnya.

“Indonesia harus memanfaatkan momen perhelatan KTT G20 untuk berdiplomasi terkait pengelolaan, pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan yang sama-sama menguntungkan dan berkelanjutan, serta membahas syarat ekspor produk perikanan dan kelautan dari Indonesia ke negara lain, khususnya negara  anggota G20”, ungkapnya.

Baca juga:  Musrenbang Gunung Putri Jadi Ajang Curhat Ketua "APDESI" Sampaikan ini

Dalam KTT G20 juga sepatutnya Indonesia dapat membahas mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dengan China, dan Indonesia dengan Vietnam, yang wilayah lautnya berdekatan dengan wilayah laut  Indonesia, atau juga dengan Negara Australia.

“Sebab persoalan ZEE ini kerap muncul ke permukaan, dan tidak jarang pula memunculkan konflik antara Nelayan Indonesia dan Nelayan asing atau Nelayan Indonesia dengan pihak aparat penegak hukum negara lain dan sebaliknya”, kata Capt. Hakeng pendiri serta Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI).

KTT G20 diharapkan juga menghasilkan suatu kesepakatan, dalam memberikan perhatian dan perlindungan bagi para penyumbang devisa negara yakni Pelaut Kapal Niaga, ataupun Pelaut Perikanan. Sebab, masih banyak perlakuan kurang adil yang diterima oleh Pekerja Migran Indonesia, terutama yang bekerja sebagai Pelaut Perikanan (PMI PP) yang bekerja di atas Kapal Penangkap Ikan berbendera Asing.

Baca juga:  Hasil Uji Valid, Laboratorium Minyak PLN Dapat Sertifikat Dari KAN

Berdasarkan laporan studi bertajuk ‘Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM, dan Kelembagaan’ yang diluncurkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada 31 Agustus 2022 lalu, PMI PP masih dihadapkan dengan praktik-praktik perbudakan modern, dan perdagangan manusia.

Tim Peneliti IOJI mengidentifikasi, lima akar masalah yang menghambat perlindungan PMI PP, antara lain 1) kelemahan instrumen hukum di tingkat internasional, regional, nasional, dan daerah: 2), tumpang tindih kewenangan dan kelembagaan dalam perlindungan PMI PP: 3), ketimpangan relasi kuasa antara PMI PP dan pemberi kerja: 4), pelanggaran sistemik pada proses perekrutan dan penempatan PMI PP: serta 5) kelemahan sistem informasi, penanganan pengaduan, dan rendahnya akuntabilitas.

“Dari temuan tersebut diharapkan, pemerintah dapat melakukan perundingan dengan negara-negara lain, yang banyak memanfaatkan tenaga kerja Pelaut Perikanan Indonesia. Sehingga dapat ditemukan titik terang penyelesaian yang saling menguntungkan”, pungkas Capt. Hakeng.(Wahyu)

Baca detikNews.co.id di Google Newsspot_img
Facebook Comment

Berita Terpopuler

Berita terbaru
Berita Terkait