website statistics
22.4 C
Indonesia
Sun, 5 May 2024
close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

22.4 C
Indonesia
Sunday, 5 May 2024 | 6:08:13 WIB

Lahan Sengketa UIII, Kenangan Kelam Perjuangan Para Ahli Waris Tanah Hak Milik Adat di Kampung Bojong-Bojong Malaka

Depok | detikNews – Kampung Bojong-Bojong Malaka, sebuah desa yang kaya akan sejarah dan warisan budaya, telah menjadi saksi bisu dari penderitaan yang mendalam bagi para penggarap tanah hak milik adatnya.

Tindakan penertiban lahan yang dilaksanakan oleh Tim Terpadu Penertiban Lahan untuk Proyek Strategis Nasional Kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) telah menggiring mereka ke jurang ketidakpastian dan kesulitan hidup. Meski demikian, pandangan atas kejadian ini tak bisa dipisahkan dari kenangan gelap masa lalu, ketika Kampung Bojong-Bojong Malaka berjuang mempertahankan tanah mereka dari tindakan represif pemerintah Orde Baru.

Di tengah segala kemarahan dan penderitaan saat ini, seorang tokoh kampung yang juga sebagai salah satu pemilik dan ahli waris tanah Bojong-Bojong Malaka bernama Ibrahim bin Jungkir, yang berusia 90 tahun, mengingatkan bahwa apa yang dialami para penggarap kini belum setara dengan ketabahan masyarakat Bojong-Bojong Malaka ketika mereka mempertahankan hak tanah mereka di masa lalu.

Baca juga:  Memperkuat Layanan Baca di Kota Depok, Kadiskarpus Ungkapkan Ini

“Para penggarap sekarang cuma disuruh pergi dari lokasi tanah, dikasih duit lagi. Kalau kami dahulu, sudah diusir, digebukin, ditangkap, disiksa bahkan ada yang dibunuh,” ujar Ibrahim kepada detikNews.co.id, Senin (07/08/2023)

Dia menceritakan bagaimana dirinya dan kawan-kawannya ditangkap, disiksa, dan direndam di Rawa Kalong selama tiga bulan hanya karena mempertahankan hak mereka atas tanah adat.

Cerita pahit Ibrahim dibenarkan oleh Yusup Riyadi, seorang saksi hidup yang juga pernah menjadi korban ketika desa mereka berjuang mempertahankan tanah hak milik adat.

Yusup menyatakan bahwa Ibrahim adalah salah satu tokoh utama dari kelompok Barisan Tani Indonesia (BTI) yang paling banyak menderita penyiksaan. Yusup mengenang bagaimana ia sering menyelipkan air minum kepada orang-orang yang direndam di Rawa Kalong, tanpa se-pengetahuan penjaga yang melarang kunjungan para tamu.

Baca juga:  Masih Ada Kerumunan di Depan Gedung DPR, Begini Titik Kemacetan di Jakarta pada Malam Ini

Hal senada juga di katakan Syapi’ih, yang berusia 80 tahun, ia mengungkapkan bahwa peristiwa penangkapan dan penyiksaan di Kampung Bojong-Bojong Malaka memang terjadi. Dia menyebutkan bahwa ayahnya hampir ditangkap dan disiksa di Rawa Kalong, tetapi berhasil diselamatkan karena bukan bagian dari kelompok BTI.

“Keluhan para penggarap saat ini tidak masuk akal karena mereka bukanlah pemilik sah dari tanah tersebut,” ucapnya.

“Kalau orang Bojong pantas melawan karena tanah itu punya orang Bojong. Tanah itu warisan orang tua kami yang dirampas RRI,” tambahnya.

Di sisi lain, Ketua LSM Koalisi Rakyat Anti Mafia Tanah (KRAMAT), Yoyo Effendi, sebagai Kuasa hukum ahli waris pemilik tanah bekas hak milik adat, menyampaikan pandangan objektif tentang penertiban tanah Bojong.

Yoyo berpendapat bahwa objek penertiban adalah orang-orang yang status hukumnya tidak jelas, datang dari luar Depok, dan menduduki tanah tersebut dengan dalih bahwa itu adalah tanah negara. Namun, menurutnya, tanah tersebut adalah milik adat yang jatuh ke tangan ahli warisnya.

Baca juga:  Peringati Isra Mi'raj, H.Mansur Arongan Sukses Gelar Dakwah Islamiyah di Masjid Baitul Mannan Trieng Pantang

“Baik para penggarap maupun RRI, keduanya berada dalam ranah perilaku yang sama sebagai mafia tanah,” tandasnya.

Yoyo mengungkapkan, sebelumnya di pemberitaan  sejumlah media dan viral, UIII mengerahkan Tim Terpadu Penertiban Lahan UIII yang terdiri dari Kepolisian, Tentara dan Satpol PP untuk memaksa para penggarap tanah itu keluar dari lokasi tanah tersebut.

“Mereka diperintahkan keluar dari lokasi tanah setelah diberikan uang kerohiman. Namun para penggarap tersebut enggan keluar dari lokasi tanah dan berusaha memberikan perlawanan dengan menuduh tindakan aparat melanggar hak asasi manusia yang kemudian para penggarap menggunakan Lembaga Bantuan Hukum dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai alat untuk mempertahankan kedudukan mereka di tanah tersebut,” tutup Yoyo. (Edh)

Baca detikNews.co.id di Google Newsspot_img
Facebook Comment

Berita Terpopuler

Berita terbaru
Berita Terkait