website statistics
23.4 C
Indonesia
Sat, 4 May 2024
close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

23.4 C
Indonesia
Saturday, 4 May 2024 | 22:06:34 WIB

Dilema Standar Kemiskinan di Indonesia, Antara Politik versus Akurasi Pengukuran

Jakarta | detikNews – Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 17,7 persen pada tahun 2022. Angka ini didasarkan pada standar kemiskinan internasional Bank Dunia menggunakan US$ purchasing power parity (PPP) sebesar US$ 3,2 PPP sebagai batas kemiskinan.

Saat ini, Indonesia menggunakan standar US$ 1,9 PPP untuk mengukur kemiskinan ekstrim, yang mencapai 1,5 persen pada tahun 2022, dan menargetkan mencapai 0 persen pada tahun 2024. Namun, menurut Yusuf, Bank Dunia telah menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi yang lebih baik dalam penanggulangan kemiskinan, dengan tidak lagi menggunakan standar US$ 1,9 PPP, tetapi beralih ke standar US$ 3,2 PPP.

Baca juga:  Cadangan Batu Bara Indonesia Sangat Memadai untuk Memenuhi Kebutuhan Energi Selama 50 Tahun, Menurut Pengusaha Tambang

“Dengan ukuran extreme poverty US$ 1,9 PPP, angka kemiskinan hanya 1,5 persen. Namun, dalam perhitungan IDEAS, dengan ukuran poverty US$ 3,20 PPP, angka kemiskinan melonjak menjadi 17,7 persen”, ucapnya, Rabu, 7/6/2023.

Yusuf menilai, bahwa pemerintah terlihat enggan menerima usulan dari Bank Dunia ini, dengan alasan utama bahwa penggunaan standar baru tersebut akan menyebabkan peningkatan signifikan jumlah penduduk miskin.

Baca juga:  Memajukan Budaya Batik Lokal, Pameran Busana Khas Depok Mencuri Perhatian

“Secara politik hal ini tentu tidak menguntungkan bagi penguasa, terlebih menjelang pemilu”, tutur Yusuf.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan standar kemiskinan nasional sebagai ukuran kemiskinan resmi di Indonesia. Data kemiskinan dari BPS selalu dipublikasikan secara luas oleh pemerintah berdasarkan survei setiap 6 bulan yang disebut Susenas.

“Pada prakteknya, ukuran kemiskinan US$ 3,2 PPP sesuai rekomendasi dari Bank Dunia lebih relevan, yang menghasilkan angka kemiskinan sekitar 18 persen, dan akan berimplikasi penting bagi strategi pertumbuhan yang lebih inklusif”, jelasnya.

Baca juga:  Sopir di Manado Terlibat Duel Mematikan dengan Pria yang Menegurnya Setelah Berteriak di Jalanan

Yusuf juga memberikan contoh mengenai implementasi kebijakan perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan, di mana pemerintah menggunakan data kemiskinan ‘Mikro’. Data ini berbeda dari data kemiskinan ‘Makro’ dari BPS, yang dikenal sebagai DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang mencakup data sekitar 35 persen keluarga paling miskin.(Arf)

Baca detikNews.co.id di Google Newsspot_img
Facebook Comment

Berita Terpopuler

Berita terbaru
Berita Terkait