website statistics
22.4 C
Indonesia
Sat, 27 April 2024
close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

22.4 C
Indonesia
Saturday, 27 April 2024 | 2:42:00 WIB

Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK oleh Mahkamah Konstitusi Menuai Kritik Tajam 

Jakarta | detikNews – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mendapat kritikan berkepanjangan terkait keputusan mereka yang memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Salah satu kritikus utama adalah Fahri Bachmid, seorang pakar hukum tata negara dan konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI).

Fahri menyatakan bahwa keputusan untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun sangat problematis. Dia juga menganggap keputusan tersebut multitafsir.

“Jika membaca secara cermat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor Nomor 112/PUU-XX/2022 terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang dari semula 4 tahun menjadi 5 tahun adalah sangat problematis serta mengandung sifat multitafsir jika ada pihak yang mencoba untuk menjustifikasi putusan a quo terhadap eksistensi kepemimpinan KPK saat ini”, terang Fahri Bachmid kepada wartawan, Minggu (27/5/2023).

Fahri berpendapat, bahwa sangat sulit untuk menjalin korelasi yang membenarkan keputusan MK dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap kelangsungan dan validitas kepemimpinan KPK saat ini.

“Sebab dalam putusan itu sendiri sama sekali tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya permohonan ini”, jelas Fahri.

Baca juga:  Kasus Pembacokan Pelajar di Pomad Bogor: "Polisi Interogasi 9 Saksi untuk Mencari Tahu Pelaku"

Satu-satunya pertimbangan konstitusional yang dibuat oleh MK adalah berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana tercantum dalam halaman 117 putusan MK tersebut, yang menyatakan bahwa:

Mengingat masa jabatan pimpinan KPK saat ini akan berakhir pada 20 Desember 2023, yang hanya tinggal kurang lebih 6 bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara ini guna memberikan kepastian hukum yang adil.

“Akan tetapi jangan diartikan, atau hakikatnya ini bukan merupakan pijakan konstitusional yang diberikan MK kepada pimpinan KPK saat ini sebagai sebuah pranata serta transfer kewenangan transisi sampai dengan bulan Desember 2024”, tandasnya.

Secara yuridis, Pasal 47 UU MK mengatur bahwa: Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

“Artinya secara teoritik putusan MK bersifat prospektif ke depan (Forward Looking), dan tidak retroaktif ke belakang (Backward Looking). Itu adalah prinsip dasar, sehingga dengan demikian presiden sebagai kepala negara akan diperhadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati hatian yang tinggi”, paparnya.

Baca juga:  KPK Lakukan Penggeledahan 5 Jam di Balai Kota Bandung, Sita 3 Koper Hitam

Fahri menyatakan, bahwa putusan MK tersebut tidak menciptakan dasar konstitusional yang jelas. Setidaknya, dalam bagian “ratio decidendi” atau pada amar putusan itu sendiri, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai kaidah-kaidah peralihan yang spesifik.

“Semisal MK pernah buat dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU Cipta Kerja yang mana dalam putusan itu MK mengatur hal-hal teknis yang sifatnya transisional begitu detail dan teknis, termasuk memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan itu diucapkan”, tegas Fahri.

Menurut Fahri, jika melihat putusan dalam perkara ini, maka pertimbangan MK mengenai hal-hal transisional sangatlah samar dan absurd. Oleh karena itu, jika kita membaca pertimbangan hukum dan amar putusan secara keseluruhan, dan tiba-tiba menghubungkannya dengan alasan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini, hal itu akan memicu perdebatan.

“Hal ini idealnya harus terantisipasi lewat putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 ini”, tandas Dr Fahri Bachmid.

Baca juga:  Wakil Walikota Depok Katakan Ini kepada Siswa SMA Negeri 1

Selanjutnya, Fahri menyoroti standar ganda yang diterapkan oleh MK dalam memandang dan mengambil sikap terkait ‘open legal policy’ yang patut dipertanyakan. Meskipun MK menyebut perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK sebagai kebijakan hukum yang terbuka, namun MK justru melanggar prinsip tersebut dengan tidak menggunakan kaidah yang telah ada.

“Dengan Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara. Dalam kondisi demikian, Mahkamah akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang”, imbuhnya.

Kritik terhadap putusan MK mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK terus mengalir, dengan Fahri Bachmid menjadi salah satu yang mengungkapkan ketidakpuasan dan kekhawatirannya terhadap keputusan tersebut. Kritik ini menyoroti ketidakjelasan dan masalah interpretasi yang muncul dari putusan MK, serta kepatutan dari perspektif konstitusional.(Arf)

Baca detikNews.co.id di Google Newsspot_img
Facebook Comment

Berita Terpopuler

Berita terbaru
Berita Terkait